Militer Mesir Kini Penentu Nasib Mubarak

     Bentrok kubu anti dan pro Presiden Mesir Hosni Mubarak akhirnya pecah. Massa pendukung Mubarak untuk pertama kalinya keluar dan mendatangi kerumunan massa demonstran anti pemerintah yang tengah berkumpul di Tahrir, Kairo. Keributan tak terhindarkan. Kedua kubu saling lempar batu, kejar-kejaran dan tidak sedikit terlihat baku hantam.
     Peristiwa terjadi beberapa saat setelah militer Mesir, Rabu 2 Februari 2011, meminta rakyat untuk kembali ke rumah masing-masing setelah sembilan hari terlibat hiruk-pikuk gelombang demonstrasi di Kairo dan kota-kota lain. Namun, kendati menaruh respek kepada militer, rakyat Mesir masih memendam amarah kepada Hosni Mubarak dan pemerintahnya.

Seruan militer itu tampaknya tidak menjamin bahwa massa akan berhenti turun ke jalan. Masalahnya, mereka belum puas dengan penyelesaian konflik di Negeri Piramid itu.
Dalam pidato Selasa malam waktu setempat, Mubarak berjanji akan benar-benar pensiun pada September mendatang, ketika masa kepresidenannya usai, setelah 30 tahun berkuasa. Pemimpin berusia 82 tahun itu juga tidak akan bersedia lagi dicalonkan sebagai presiden pada pemilu tahun ini, seperti yang selalu dia lakukan.

Namun, dia tidak memenuhi permintaan para pemrotes, yaitu mundur sekarang juga atau pergi meninggalkan Mesir seperti yang dilakukan Presiden Zine El Abidine Ben Ali ketika kabur dari Tunisia di tengah gelombang demonstrasi 14 Januari lalu.

"Ini adalah negara saya. Di sinilah saya tinggal, berjuang, dan membela tanah air. Saya akan mati di negeri ini," kata Mubarak dalam pidato yang dikutip stasiun berita BBC.

Pidato itu justru membuat situasi kian panas. Massa pendemo, yang berjumlah jutaan saat menggelar aksi di Kairo dan kota-kota lain pada Selasa lalu, sudah terlanjur berkata "tidak" kepada Mubarak. Menurut kantor berita Associated Press, mereka bertekad tidak akan berhenti unjuk rasa selama Mubarak masih menduduki kursi presiden.  

“Ini hanya membuat kami lebih marah. Dia harus turun sekarang. Dia tidak boleh menunggu sampai September. Pesawat Mubarak telah siap,” ujar Ahmed Defouki, berharap Mubarak akan kabur ke Jeddah seperti Ben Ali dari Tunisia.

“Ini seperti skenario di Tunisia, Ben Ali berjanji untuk mundur, tapi akhirnya dia berhasil digulingkan dengan cepat,” ujar Defouki lagi.

Karim Medhat Ennarah, mengaku mendengarkan pidato Mubarak bersama puluhan lainnya di sebuah warung kopi. Mereka tengah beristirahat setelah berdemo. Karena marah mendengar pidato itu, massa yang tadinya sudah lelah berdemo kembali ke Lapangan Tahrir.

“Dia adalah orang yang mencoba melakukan penawaran, padahal dia sudah tidak punya apapun untuk ditawarkan,” ujar Ennarah. Mereka sudah tidak percaya lagi dengan Mubarak setelah pada pidato sebelumnya pada Jumat pekan lalu juga menyatakan tidak akan mundur walau berjanji melakukan berbagai reformasi ekonomi dan politik, termasuk mengganti kabinet. 

"Dia sudah seperti kanker, menghabisi kita pelan-pelan. Bagaimana bisa rakyat Mesir bisa cukup bodoh untuk yakin akan kata-kata seorang pembunuh yang sudah memuntahkan banyak peluruh ke rakyat sendiri?" kata warga berusia 26 tahun bernama Shady Hussein, seperti dikutip harian The Guardian.
Hussein bersama para pemrotes mengaku sudah tidak tahan atas kesewenang-wenangan rezim Mubarak selama ini yang telah mengekang rakyat dan kini tidak sanggup mengatasi inflasi harga pangan dan tingginya tingkat pengangguran di kalangan rakyat. 

Menurut kalangan pengamat, jika "status quo" ini terjadi, pihak militer akan berperan besar dalam menentukan nasib Mubarak selanjutnya. Mubarak, yang merupakan mantan jenderal Angkatan Udara, bisa saja terus berkuasa, namun ini akan memaksa militer untuk meladeni para massa pendemo dan kelompok-kelompok oposisi dengan cara yang keras dan ini bisa menimbulkan korban jiwa yang lebih besar.  

Padahal, menurut seorang pengamat yang dilansir dari stasiun berita CNN, Selasa 1 Februari 2011, militer Mesir sudah menunjukkan dukungannya terhadap penyuaraan aspirasi rakyat.

Pada Senin, 31 Januari, pihak militer telah menyatakan tidak akan melakukan kekerasan dalam menghadapi para demonstran. Lebih lanjut, militer bahkan mengatakan bahwa mereka mendukung kebebasan berekspresi melalui jalan damai dan terbukti, sampai saat ini demonstrasi berlangsung damai dan tanpa bentrokan.

Menurut Profesor ilmu politik dari Universitas Virginia yang pernah menjadi staf Dewan Keamanan Nasional AS pada tahun 1970, William Quandt, eskalasi demonstrasi akan terjadi seiring penolakan Mubarak untuk turun. Jika demikian, ujarnya, militer akan menentukan pilihan, yang pasti mereka tidak akan memihak pemerintah.

“Mereka bisa saja menghancurkan para demonstran seperti apa yang dilakukan oleh Saddam Hussein di Irak. Sedikit gertakan dari militer dapat berhasil, namun hal ini pasti akan mendapat reaksi keras, terutama dari Amerika ” ujar Quandt.

“Alternatifnya adalah militer memihak kepentingannya sendiri. Mubarak yang membuat situasi semakin sulit. Selama dia menolak untuk turun, demonstrasi tidak akan berhenti. Jika militer disuruh memilih antara kepentingan demonstran dan Mubarak, mereka akan bilang ‘Kami tidak bisa memihak anda lagi dan anda harus pergi,’” lanjut Quandt.

Namun, ujar Quandt, hal ini tidak akan terjadi dalam waktu dekat. “Kira-kira masih akan terjadi dalam beberapa hari lagi,” ujarnya.

Menurut editorial majalah Time, Selasa 1 Februari 2011, pernyataan militer yang mendukung kebebasan berekspresi rakyat Mesir adalah bukti Mubarak telah kehilangan monopoli politiknya yang telah dia nikmati selama lebih dari 30 tahun. Ditambah lagi, Mubarak telah menyatakan keinginannya untuk berdiskusi dengan tokoh-tokoh oposisi untuk menyelesaikan masalah. Hal ini dapat menjadi momentum yang tepat untuk menjatuhkan sang diktator.

“Jika militer menolak untuk menggunakan kekuatannya untuk membubarkan demonstran dan mendukung hak mereka untuk demonstrasi damai, maka hal ini akan menciptakan dualitas kekuasaan,” tulis Time.

Demonstrasi massa saat ini dinilai kurang kuat untuk menggulingkan Mubarak. Namun seiring surutnya pengaruh Mubarak, demonstran akan semakin menggalang kekuatan dan sulit untuk dihancurkan.

“Jika militer membela Mubarak dan bergerak menumpas para demonstran, maka pergolakan akan dapat dihentikan, setidaknya sementara. Namun jika mereka menjauhkan diri dari rezim, seperti yang dilakukan oleh militer Tunisia kepada Presiden Zine el Abidine Ben Ali beberapa pekan lalu, maka ini berpengaruh bagi Mubarak,” demikian ulasan Time. 

Baca juga :



0 comments :